Kita di Zaman Apa ? [Opini]

Ndamar - Beberapa hari ini kuhabiskan waktu bersama jalan dan koran. Informasi silih berganti lalu lalang seperti lalat terbang. Mereka bilang Surabaya indah, metropolitan menawan, seperti Jakarta katanya. Tulisan bilang Heritage Surabaya begitu nusantara dimataku, tidak hanya gedung tinggi dan megah, bangunan tua juga masih berdiri seolah enggan mati. Goresan kota metropolis terlihat jelas, ini kota Surabaya. 
Seiring jalan juga seiring koran. "Kandang buaya" ini tak lekang dengan makhluk-makhluk besi yang membuat jalan gerah,ingin muntah. Macet dimana-mana, masalah klasik mereka bilang. Klasik itu tidak ada rongsokan besi berdesakan di jalan, berhamburan. Macet itu masalah modern di era modernisasi seperti ini. Kendaraan umum mereka kambing hitamkan, toh besi-besi pribadi yang mereka tunggangi itu membuat aspal kota sesak nafas.
Banyak sekali peringatan di kota ini. Kota ini nyaman tak serahusnya papan peringatan merusak mata. Mulai dari peringatan jalan (rambu-rambu lalu lintas) yang berjajar dimana-mana, larangan merokok, tempat membuang putung rokok, larangan menggunakan 'pedestrian' bagi penunggang motor, dilarang parkir. Ya itu memang seharusnya ndamar!!. Tapi dikota banyak kutemui pelanggar traffic light, pengendara motor melewati zebra cross saat lampu merah, pengendara motor menggunakan 'pedestrian' untuk parkir dan juga lalu lintas, membuang putung rokok sembarang di area taman, dan banyak yang tak seharusnya ada di kota modern seperti Surabaya ini. 
Sejenak aku berbicara dengan secangkir kopi yang telah aku bunuh pelan-pelan. Terjerumus aku di sekolah dasar masaku, masa dimana lahan yang siap ditanami juga dikembangkan. Ibu guru mengajarkanku apa itu lalu lintas, apa itu rambu-rambu lalu lintas, apa itu etika, apa itu saling menghargai, apa itu hak dan kewajiban. Aku yakin semua Bapak/Guru juga mengajarkan hal yang sama untuk mereka-mereka yang menikmati modernisasi saat ini.
Lantas siapa yang disalahkan, menyalakan, dipersalahkan?. Banyak pengguna jalan melewati zebra cross saat berhenti di traffic light sedangkan zebra cross adalah hak pejalan kaki yang ingin dan sedang menyebrang. Banyak pengguna jalan yang menggunakan jalur 'pedestrian' sebagi jalu lalu lintas juga tempat parkir sedangkan 'pedestrian' adalah hak untuk pejalan kaki beraktivitas meski sekedar menikmati kota Surabaya ini. 
Rambu dilarang berhenti pun dilanggar juga, bukankah itu hak kota untuk menjadi indah. Dilarang merokok ditempat umum, masih juga merokok tanpa bersalah, lantas mereka yang tidak merokok untuk menjungjung hak atas kesehatan atau sekedar taat dengan peringatan mau dikemanakan ?. Hak taman kota yang indah terkotori dengan putung rokok. 
Mereka ini selayaknya tidak lulus ujian sekolah dasar. Apa mereka sadar kalau mereka hidup dikota besar?. Apa mereka sadar kalau ini era modernisasi?. Atau mungkin mereka masih katrok, jadul dan kolot. Atau mungkin mereka tidak ingin modern atau tidak mengerti modernisasi?. Seperti yang sudah aku angin-anginkan sebelumnya dihembusan westernisasi dan modernisasi
Kita harus sadar dan peka dengan modernisasi yang ada dilingkungan kita. Saya pikir tak perlu ada ceramah di setiap traffic light kalau kita paham dan sadar modernisasi akan sebuah tata lalu lintas. Bu Risma, Ibu Wali kota pun tak perlu membuang waktu untuk iku mengatur lalu lintas yang kacau karena pengguna jalan sama-sama cepat sampai tempat tujuan. Ini kan jalan kita bersama, fungsi traffic light itu untuk mengatur lalu lintas, itulah modernisasi. Tak perlu ada Satpoll PP menertibkan pengendara motor di jalur 'pedestrian' kalau kita sadar paham dan sadar modernisasi tata kota juga hak masing-masing dari kita. Tak perlu banyak peringatan dilarang merokok kalau kita saling memahami fungsi taman kota, kalu perlu denda atau bui pagi mereka yang merokok di taman kota.
Koran bilang Surabaya akan dibangun MRT, senyum aku mendengarnya. Pasti jalan-jalan kota nanti bisa bernafas lega. Banyak yang sehat karena jalan kaki. Semoga warga 'kandang buaya' juga sekitarnya sadar dan mengerti akan sebuah modernisasi,bukan hanya kota dan seisinya tetapi juga pimikiran serta tindakan. Semoga Bung Tomo tersenyum dengan air mata yang sia-sia. Hidup Surabaya. Kanginan

Sering dibaca