“Meong … !!” reflek
kucingku ketika tak sengaja kutendang saat merubah posisi kaki di
atas kasur. Jam menunjukkan pukul 02.00 malam. Tak terasa buku CineUs
telah selesai aku tonton. Buku ini aku beli 5 hari yang lalu, aku tak
mengerti mengapa aku membeli buku ini dihari kelahiranku, mungkin
karena aku pernah bertemu si penulis meski hanya tak lebih dari 15
menit atau memang karena saat itu aku mendapat rezeki lebih.
Malam ini aku
menghabiskan lebih dari setengah buku yang belum ku tonton, tak
seperti malam sebelumnya yang ku tonton hanya satu chapter
sebelum aku beranjak pulas. Buku ini membawaku ke masa sekolah yang
sering bolos dan sering membaca cerpen dan novel, meski kegemaran
baca cerpen dan novel hilang 2 tahun setelah aku lulus SMA dan tak
mendapat restu orang tua untuk kuliah di jurusan sastra. Dan itu
seperti hantu-hantu yang mengerikan jika diingat.
Buku ini sarat misteri
seperti Rizki dimata Lena. Banyak plot yang terkadang mengocoh layar
imajinasi pembaca. Mungkin salah satunya plot Dania yang diam-diam
menyimpan foto-foto Dion. Juga kesalahan naskah yang memenangkan Lena
di Film Festival Remaja, awalnya aku berfikir kalau Lena tak sadarkan
diri menukar naskahnya setelah mengintip naskah Rizki, ternyata Dania
tersangkanya. Begitu juga sikap Romi yang ternyata didalangi Adit,
meski aku sendiri belum mengerti mengapa Romi harus menuruti Adit.
Dan entah mengapa, sejak
awal aku melihat si penulis sebagai sosok Lena. Hhhmmmm,.. mungkin
karena aku membaca biografi si penulis sebelum aku benar-benar
menonton isi CineUs. Saat prolog karya ini pun sudah membawaku
kangen masa SMA-ku, mungkin tak jauh beda dengan akhir cerita masa
SMA-ku, mati-matian buat film dokumenter untuk mengenang kisah
mbolos, kabur dari sekolah, nyontek ulangan, tidur di kelas, dihukum
berjama'ah, kejar-kejaran dengan WakaSek karena dilarang bawa
handycam, juga pemotongan durasi waktu pemutaran film dari 25
menit menjadi 15 menit yang harus ku edit semalaman sebelum acara
perpisahan kelas XII.
Buku ini keren,
benar-benar imajinatif, benar-benar serasa naik mesin waktu yang
dibuat John Titor untuk kembali ke jaman yang labil, SMA.
Pembawaan kalimat yang lebih bersahabat untuk masa kini juga untuk
mereka yang pernah hidup di jaman jadul.
Meski sebenarnya banyak
kalimat-kalimat yang (mungkin dikatakan) lebay untuk sebagian
orang, tapi itulah sastra. Mulai dari kelinci gila meloncat-loncat, berenang menyeberangi
Selat Sunda, lalu koprol sampai Hawai dan menari Hula tujuh hari
tujuh malam. Ini seperti iklan TV yang (menurutku) gak nyambung
dengan produknya (tahu kan?).
Dan, entah kenapa
dibagian konflik perpecahan internal Club Film aku teringat
film Catatan Akhir Sekolah (2005) yang menggunakan prolog
pemutaran film pendek oleh Agni yang mengaku filmnya keren, tapi
mungkin ini kebetulan.
Novel ini tak hanya
cinta, tapi lebih pada dan dari sebuah harga persahabatan yang tak
ternilai, jatuh bangun yang semakin menguatkan persahatan Lena, Dania
dan Dion yang kemudian ditambah Rizki dan Ryan, meski ada
persahabatan yang menjadi cinta, hehe. Emosi yang kompleks. Ini novel pertama yang kubaca
setelah beberapa tahun yang lalu yang serasa tak punya waktu untuk
cerpen atau novel. Novel yang berbobot.
“Di dunia ini ada dua
hal yang pantas diperjuangkan. Impian dan cinta”
“Bukankah orang sering kali bersikap tolol ketika berhadapan dengan perasaan?”
“Bukankah orang sering kali bersikap tolol ketika berhadapan dengan perasaan?”
No comments:
Post a Comment