Apakah emansipasi wanita wujud dari keadilan ?


[ndamar] - Menurut wikipedia Emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu. Berarti emansipasi wanita adalah sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat bagi kelompok perempuan yang tak diberi hak secara spesifik. 
Berbicara emansipasi perempuan tak akan jauh dari sosok R.A. Kartini yang disebut-sebut sebagai polopor emansipasi perempuan di Indonesia. Banyak yang mengatakan bahwa Kartini adalah sosok yang memperjuangkan hak-hak perempuan pada eranya. Tapi seiring kemajuan zaman yang juga mendorong kemajuan pola pikir membuat makna emansipasi melebar jauh dari esensi perempuan itu sendiri. Emansipasi perempuan menjadi “kambing hitam” juga tameng dalam berbagai aspek tindakan perempuan.
Emansipasi perempuan menuntut sebuah keadilan hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan mempunyai hak seperti yang dilakukan oleh banyak laki-laki. Perempuan harus dipandang sama/sederajat dengan laki-laki. Sebagai contoh, perempuan tak sepatutnya membentak suami, menyuruh-nyuruh suami dengan dalih bahwa perempuan juga mempunyai hak dalam bersuara.
Contoh lagi perempuan mengumbar aurat dengan menggunakan pakaian serba minim (bertelanjang dada), mempertontonkan kepada laki-laki dengan dalih hak perempuan dalam berpakaian, bebas berekspresi seperti laki-laki (berpakaian). Perempuan juga menuntuk untuk dikatakan sama kuat dengan laki-laki, sedang dibanyak kasus ketika perempuan disuruh untuk mengangkat barang berat selaku berkilah “masak perempuan yang ngangkat, laki-laki kan lebih kuat”.
Dengan kata lain bahwa arti emansipasi perempuan telah tergerus menjadi persamaan keadilan perempuan atas laki-laki. Bukankah adil tidak selalu sama ?. Apakah jika kita mempunyai anak yang satu sudah SMA sedang yang satu masih SD lantas kita memberikan uang saku dengan jumlah yang sama atas dalih persamaan hak ?. Tentu tidak bukan. 
Suatu keadilan tidaklah harus sama melainkan sesuai dengan takaran dan kondisi. Perempuan tak perlu menuntut persamaan hak atas laki-laki karena perempuan tak mampu menghamili perempuan. Perlu kita sadari bahwa laki-laki dan perempaun mempunyai kodrat yang berbeda. Masing-masing kodrat mempunyai peran tersendiri dalam kehidupan. Wanita mempunyai kodrat sebagai ujung tombak kasih sayang atas suami dan anak-anaknya sedang laki-laki menjadi benteng atas istri dan anak-anaknya. 
Perlu juga diingat bahwa negera indonesia adalah negara berbudaya dan berbudi perkerti luhur. Indonesia diikat dengan moral yang tumbuh dari budaya. Salah satu contoh, tidak pantas wanita berpakaian tidak sopan (serba terbuka/minim) dan tak perlu emansipasi menjadi kambing hitam untuk mengingkari budaya kita bukan ?.
Keadilan yang dituntut R.A. Kartini adalah keadilan dalam berfikir, bermusyawarah serta pengakuan atas pemikiran yang pada saat itu wanita hanya sebatas dapur dan tembok rumah. Jika R.A. Kartini adalah sosok yang menjunjung tinggi emansipasi (keadilan) wanita lantas mengapa R.A. Kartini mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Dari sini saya artikan bahwa keadilan ditata dalam prinsip kehidupan yang telah kita anut, baik itu prinsip agama dan kebudayaan yang memberi dasar dalam nilai keadilan dari tiap segmen. Agama juga budaya memberikan nilai hak dan kewajiban yang berbeda kepada setiap individu untuk individu lainnya. [kanginan]

sumber : 

Kencur Buta

- Kencur Buta -

Asing
Terasing
Ku kenali,
Tak dikenali
Aku

Tiga pasang mata
Berbicara saja
juga bangunan tua
sekeranjang kue juga
Riuh
banyak mulut mengangah
Tapi tetap saja,
sendiri aku

mata-mata itu
hanya tak tahu
Hidungku dikenali disini
depan meja minum
depan pagar
dan disetiap lorong jalan
yang biasa mereka lewati
hahaha,,,
Aku gila dengan sendirinya

Wajah Pendidikan Indonesia [bagian 3 - Habis]

[ndamar] - Terlepas dari sebuah pemikiran yang 'liberal' untuk sebuah kemajuan IQ, Indonesia adalah sebuah bangsa yang beragama. Ini sudah tertulis pada Pancasila sile pertama, yakni "Ketuhanan Yang Maha Esa". Dari sini sudah jelas bahwa kita adalah warga negara yang beragama. Secara logika sudah kita ketahui bersama bahwa sebuah agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan 'horizontal' juga kehidupan 'vertikal'.
Agama mengajarkan, menganjurkan serta membimbing umatnya untuk taat beribadah. Esensi beribadah secara horizontal adalah sebuah tindakan berbuat baik sesama makhluk ciptaan Tuhan. Saling senyum adalah sebuah ibadah yang tersirat secara vertikal. Sedang esensi beribadah secara vertikal adalah sebuah penghambaan dengan penyembahan kepada pencipta sesuai dengan ketentuan dalam agama. 
Pada Pancasila sila kedua berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Kita semua pasti sudah mengerti dengan kalimat ini. Manusia adalah sebaik-baik makhluk yang ada di bumi, dan sebaik-baik makhluk adalah yang beradab (mempunyai adab). Secara tidak langsung negara menuntut juga memaksa kita untuk berbuat adil dan beradab, pertanyaannya adalah apakah kita sudah menjadi warga negara yang baik dengan menghormati (melaksakan) sila kedua dari Pancasila ini ?. Begitu juga dengan agama yang mengajarkan nilai sebuah kebaikan agar kita menjadi makhluk yang lebih bernilai, yakni manusia beradab.
Kembali pada topik pendidikan indonesia dengan perumpamaan perusahaan di bagian 1 bahwa "untuk mendapatkan sebuah hasil yang baik maka harus baik pula bahan/inputan tersebut". Untuk menghasilkan SDM yang baik maka harus baik pula bahan/inputan untuk menjadikannya baik. Sudah kita ketahui bersama bahwa hakikat sebuah pendidikan menjadikan manusia menjadi manusia yang terdidik. Perilaku adalah sebuah barometer yang dapat digunakan untuk melihat apakah manusia itu terdidik atau tidak. 
Dengan melanjutkan pada bagian 3 ini ndamar menyimpulkan bahwa Indonesia (kita) telah kehilangan pondasi dasar sebuah pendidikan, yakni pendidikan agama yang mengajarkan nilai-nilai dasar sebuah budi luhur secara horizontal dan vertikal. Jika pondasi dasar dari pendidikan ini tak lagi dikenali nantinya Indonesia juga akan kehilangan berbagai macam budaya yang dimilikinya, mengingat budaya Indonesia adalah budaya yang juga mempunyai dasar sebuah budi luhur. Hal ini pun sudah nampak disekitar kita bagaimana kita tidak bisa membedakan modernisasi dan westernisasi.
Maju terus pendidikan Indonesia - [kangingan]

Wajah Pendidikan Indonesia [bagian 2]

[ndamar] - Saya menarik kesimpulan bahwa ada yang kurang dalam proses sebuah pendidikan ini. Apa ? Sebuah moral. Mengapa sebuah moral perlahan kabur disetiap pendidikan ? Apa tidak ada mata pelajaran moral ? Saya yakin masih ada mata pelajaran kewarganegaraan, tapi apakah cukup ? Tidak!. Sebuah landasan agama yang saat ini terkikis oleh mata pelajaran yang lain dengan alasan mata pelajaran agama tidak begitu dibutuhkan dalam pekerjaan. Memang iya tapi agama sangat dibutuhkan dan diperlukan dalam kehidupan.
Perna saya tanya Kepala Sekolah “ pak mengapa disini tidak ada mata pelajaran agama ?”, “kalau bapak ingin pelajaran agama, taruh saja anaknya di pesantren”, jawabnya. Sungguh ironis buat saya dengan jawaban ini. Agama mengajarkan dasar-dasar nilai sebuah nilai kebaikan, kejujuran, keteladanan, moral, etika dan kemanusiaan yang semua itu adalah sifat dasar yang dimiliki setiap manusia. Agama menjadi 'pemantik' serta penguat dalam membangun nilai dasar kemanusiaan tersebut.
Kembali pada sebuah narasi pabrik/perusahaan. Sebuah SDM yang hanya menggunakan IQ dengan kemampuan belajar tanpa adanya EQ, bagaimana sebauh emosional dapat dikendalikan ? Pencabulan adalah dorongan emosional, pembunuhan adalah dorongan emosional. Apakah mereka tidak dapat mengendalikan emosional mereka ? Bukankah mereka adalah orang yang berpendidikan ?
EQ memberikan kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan menghadapi frustasi serta kemampuan untuk memimpin diri dan lingkungannya.
Bagaimana untuk dapat menyeimbangkan sebuah IQ dan EQ ? Jawabannya adalah dengan ESQ. ESQ merupakan sebuah singkatan dari Emotional Spiritual Quotient yang merupakan gabungan EQ dan SQ, yaitu Penggabungan antara pengendalian kecerdasan emosi dan spiritual. Manfaat yang bisa di dapat adalah tercapai nya keseimabangan antara hubungan Horizontal (manusia dengan manusia) dan Vertikal (manusia dan Tuhan). Nilai spiritual didapat dari sebuah agama, dengan iman manusia lebih bernilai secara horizontal didukung dengan taqwa yang mempunyai nilai secara vertikal.
Agama memberikan sebuah pembelajaran akan sebuah nilai mendasar pada dasar kemanusiaan juga nilai dasar ketuhanan. Dari sini akan didapat sebauh hasil/output manusia yang tidak hanya cerdas, pintar dan berpendidikan melainkan SDM yang bernilai luhur, berbudi, bermoral, berkemanusiaan serta mempunyai nilai spiritual yang menjadi arah dalam kehidupan horizontal dengan nilai iman secara vertikal. Bagian 3 - [kanginan]

Wajah Pendidikan Indonesia [bagian 1]


[ndamar] - Baru saja pengumuman hasil ujian terbesar di Indonesia yang diadakan dinas pendidikan nasional disiarkan, ujian nasional tingkat SD, SMP dan SMA. Ujian masuk Universitas tinggi pun sudah dibuka dengan banyaknya seleksi masuk. Kita ketahui bersama nilai standar kelulusan pada tahun 2013 masih dirasa sangat berat dengan variasi soal yang berbeda-beda ( 20 variasi) meski nilai standar kelulusan masih sama dengan tahun lalu yakni 5,5.
Kita semua mengetahui bahwa untuk meraih kelulusan tidaklah mudah, butuh sebuah perjuangan besar dalam proses belajar untuk menghadapi ujian nasional. Bahkan untuk masih perguruan tinggi harus melalui proses seleksi yang cukup ketat. Dengan atau tanpa kita sadari bahwa mutu pendidikan kita saat ini 'dipaksa' menjadi baik untuk menghasilkan SDM yang mampu menjadi penerus serta generasi bangsa Indonesia.
Tapi dengan melihat angka kehajatan yang telah terjadi akhir-akhir ini sunggu membuat saya berfikir bahwa ada yang salah dengan pendidikan saat ini. Kita baca saja berita yang masih hangat ditelinga kita yakni kasus kejahatan di surabaya, siswa smp yang menjadi mucikari yang menjual temannya sendiri. Kemudian kasus pencabulan di depok, pencabulan seorang guru dengan korban 15 orang. Di Nganjuk seorang guru mencabuli 25 muridnya dan yang mungkin sedikit terlupa adalah pembunuhan mahasiswa IAIN oleh temannya sendiri dengan sebab percintaan.
Mereka-mereka yang berpendidikan justru sangat banyak menjadi pelaku kejahatan. Seorang guru yang seharusnya 'digugu dan ditiru' menjadi pelaku pencabulan, seorang mahasiswa yang seharusnya menjadi generasi harapan bangsa seolah tidak dapat berfikir logis dengan membunuh kawannya sendiri. Siswa SMP yang seharusnya sibuk dengan buku-bukunya, malah menjadi pebisnis 'lendir' kotor.
Berbagai macam model pembelajaran yang digunakan oleh lembaga pendidikan menjanjikan sebuah hasil output yang sangat baik, menghasilkan lulusan/SDM yang mampu menjadi generasi penerus bangsa untuk kemajuan bangsa. Saya ibaratkan sebauh perusahaan/pabrik dalam menghasilkan sebuah produk pasti setuju dengan konsep 'dengan input/bahan yang baik maka akan menghasilkan output/hasil yang baik pula'.
Pertanyaannya adalah model pembelajaran yang banyak saat ini mengakui model pembelajarannya sangat bermutu. Tapi yang kita lihat dilapangan ? Banyak pelaku kejahatan dengan pelaku yang sangat berpendidikan bahkan mereka-mereka yang duduk di bangku pemerintahan yang diakui banyak masyarakat sebagai figur yang kompeten justru banyak melakukan tindak kejahatan korupsi. Bagian 2 - [kanginan]

Sering dibaca