Catatan Lanjutan

Catatan lanjutan.
Gelap ini bercerita. Emosi yang ditahan meletup. Ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Ya.. letupan emosi sebuah lelaki yang hanya berasap beberapa menit saja. Sebab gejolak frekuensi wifi yang tiap hari ditatapnya.
Kali ini lelaki ini menyadari letupannya pada tempatnya. Iya, sedikit sopan pada kondisi. Ini benar-benar bergetar di sekujur tubuh. Mempengaruhi pola pikir seperti gangguan oleh fiber optic yang tiap hari diliatnya. Sebagian lelaki ini menahan letupannya namun sebagian lagi ingin ledakan. Mungkin ini akan menjadi berita.
Tetap saja lelaki ini belum mengetahui hakikat ledakan yang diinginkannya. Mungkin kepalanya lapar dan lelah.

Menyesali sesal, bagaimana ?

Hai pembaca yang entah darimana. Aku sedang ingin menulis beberapa catatan untuk waktu ini. Sepertinya ini akan sedikit berlebih kedengarannya tapi sudahlah aku tetap akan menulis.
Waktu ini penuh catatan. Catatan pelajaran banyak hal. Bersyukur, menerima, ego, naif. Kebersamaan yang saling melawan dibeberapa menit, saling tersenyum dibeberapa detik. Waktu ini sebuah lelaki setengah jaman, aku. Menyadari sebuah pengorbanan dan setia. Mungkin ini masih satu family dengan sabar, aku yakin setelah menyadari ketika kehilangan itu. Ups, lebih tepatnya hanya sebentar yang seolah. Ah.. sepertinya ini hanya kekhawatiran saja.

Idealisme yang berlebih, kalau kata pasangan pemuda bercinta saat ini akan menjadi "protectif". Korelasinya dimana ? Semua ingin dalam sebuah idealisme bermuara pada batasan-batasan yang tak mau keluar dari idealisme ini. ya.. mungkin idealisme yang dipunyai lelaki ini sejalan dengan asas dasar spiritual yang didapatkannya. Begitu kuat dan angkuh. Begitu tegak dan congkak. Tak mau condong dengan angin. Entah setan mana yang selalu menopang idealisme macam sup sayur campur-campur. Aku yakin penganut abdi rawon setan juga akan jijik melihatnya saja. Tapi tetap saja lelaki ini membawanya kapanpun. Aneh dan tolol sepertinya tak bisa dibedakan untuk beberapa kapan.

Tertimpa durian jatuh. Sepertinya bukan durian yang dinikmati lelaki ini padahal perutnya belum terisi meski tidak lapar setidaknya disimpan untuk makan malam. Melainkan tidakan durian yang mengenai batasan-batasan idealisme sup sayur campur-campur yang dibawanya, sebuah lelaki enggan menyimpanya. Penulis pun masih bingung mengatakan ini aneh atau tolol. Padahal penulis yakin hati sebuah lelaki ingin menggerakkan tangannya yang dibatasi idealisme sup sayur campur-campur. Separuh tubuhku kesemutan tiba-tiba.

Seperti pesan akhir dari khutbah-khutbah penyampai ayat yang sering sebuah lelaki dengar. Bersyukur. Kata dan kalimat ini sering didengar olehnya juga aku dan penulis. Namun tak berbekas sepertinya. Apa mungkin frekuensi spektrum suara tak dapat diterima pendengaran mereka. Penulis juga masih bingung, sebenarnya pendengarannya ada di telinga atau di hati mereka.

Akhirnya penulis menyadari dengan penuh sedih. Bersyukur melemahkan segalanya. Bersyukur adalah momentum yang meledakkan dinding-dinding keras, merobohkan tiang-tiang tinggi. Iqro' anak muda, tiap benda mempunyai prosesnya masing-masing.

Sering dibaca