TV, [bisa] menjadi media pembodohan

Tulisan ini bisa dikatakan masih berhubungan dengan dan atau masih berkelanjutan dengan tulisan sebelumnya [ini] dan [itu]. Sudah hampir tiga bulan aku sering menonton TV karena memang hampir setahun sebelum itu, TV hanya sebatas aku menonton acara berita pada jam-jam tertentu.
Dan faktanya dalam tiga bulan terakhir, aku lebih sering menghabiskan waktu di dua layar, yakni layar Komputer dan layar TV. Ini mungkin efek aku membeli TV baru karena TV sebelumnya rusak. Atau mungkin aku lebih sering mengawasi adikku yang masih kecil dalam menonton acara TV.
Sekarang modernisasi sudah mudah untuk dilihat dan dirasa, baik perkembangan teknologi TV maupun kualitas tayangan TV yang mulai bergerak menuju HD-TV juga Internet-TV. Ini berbanding lurus dengan acara program TV yang berlangsung juga yang akan datang.
Semakin bagus kualitas [barang/produk] TV yang dipunyai maka semakin besar juga peluang untuk menikmati acara program TV. Yang menjadi pertanyaan adalah “Apakah acara-acara TV yang ditonton itu berkualitas, mendidik, mencerdaskan, bersifat informasi ?”
Faktanya dalam pandanganku, acara yang sifatnya hiburan [semata] yang berlebihan lebih diminati masyarakat; acara goyang tak jelas menjamur. Atau coba perhatikan saja, apa kabar acara Rangking 1 TransTv ? Apa kabar acara Hitam Putih Trans7 ? Apa kabar acara Jejak Petualang ?
Dulu program musik pagi hari sering menampilkan Budaya Indonesia baik dari bidang musik, tarian serta pengetahuan Budaya Indonesia dan sekarang apa kabar ?. Dulu lagi trend jamannya main tepung, semua ramai mainan tepung sekarang lagi trend goyang, ikutan ramai goyang. Ini pada alay, gak kreatif atau pengekor sih ?
Saya pikir kita adalah masyarakat yang cerdas, kita dapat memilih sebuah acara yang “butuh” dan atau “perlu” kita konsumsi. “Butuh” dalam batasan yang secukupnya sedang “Perlu” adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi dalam batasan butuh.

TV layaknya sebuah kulkas. Ada banyak makanan (acara/program TV) yang tersedia di dalamnya. Kita adalah individu yang mempunyai kekuatan untuk membuka, memilih, mengambil atau menutup kembali kulkas/Tv tersebut.

CineUs ndamar komentar


“Meong … !!” reflek kucingku ketika tak sengaja kutendang saat merubah posisi kaki di atas kasur. Jam menunjukkan pukul 02.00 malam. Tak terasa buku CineUs telah selesai aku tonton. Buku ini aku beli 5 hari yang lalu, aku tak mengerti mengapa aku membeli buku ini dihari kelahiranku, mungkin karena aku pernah bertemu si penulis meski hanya tak lebih dari 15 menit atau memang karena saat itu aku mendapat rezeki lebih.
Malam ini aku menghabiskan lebih dari setengah buku yang belum ku tonton, tak seperti malam sebelumnya yang ku tonton hanya satu chapter sebelum aku beranjak pulas. Buku ini membawaku ke masa sekolah yang sering bolos dan sering membaca cerpen dan novel, meski kegemaran baca cerpen dan novel hilang 2 tahun setelah aku lulus SMA dan tak mendapat restu orang tua untuk kuliah di jurusan sastra. Dan itu seperti hantu-hantu yang mengerikan jika diingat.
Buku ini sarat misteri seperti Rizki dimata Lena. Banyak plot yang terkadang mengocoh layar imajinasi pembaca. Mungkin salah satunya plot Dania yang diam-diam menyimpan foto-foto Dion. Juga kesalahan naskah yang memenangkan Lena di Film Festival Remaja, awalnya aku berfikir kalau Lena tak sadarkan diri menukar naskahnya setelah mengintip naskah Rizki, ternyata Dania tersangkanya. Begitu juga sikap Romi yang ternyata didalangi Adit, meski aku sendiri belum mengerti mengapa Romi harus menuruti Adit.
Dan entah mengapa, sejak awal aku melihat si penulis sebagai sosok Lena. Hhhmmmm,.. mungkin karena aku membaca biografi si penulis sebelum aku benar-benar menonton isi CineUs. Saat prolog karya ini pun sudah membawaku kangen masa SMA-ku, mungkin tak jauh beda dengan akhir cerita masa SMA-ku, mati-matian buat film dokumenter untuk mengenang kisah mbolos, kabur dari sekolah, nyontek ulangan, tidur di kelas, dihukum berjama'ah, kejar-kejaran dengan WakaSek karena dilarang bawa handycam, juga pemotongan durasi waktu pemutaran film dari 25 menit menjadi 15 menit yang harus ku edit semalaman sebelum acara perpisahan kelas XII.
Buku ini keren, benar-benar imajinatif, benar-benar serasa naik mesin waktu yang dibuat John Titor untuk kembali ke jaman yang labil, SMA. Pembawaan kalimat yang lebih bersahabat untuk masa kini juga untuk mereka yang pernah hidup di jaman jadul.
Meski sebenarnya banyak kalimat-kalimat yang (mungkin dikatakan) lebay untuk sebagian orang, tapi itulah sastra. Mulai dari kelinci gila meloncat-loncat, berenang menyeberangi Selat Sunda, lalu koprol sampai Hawai dan menari Hula tujuh hari tujuh malam. Ini seperti iklan TV yang (menurutku) gak nyambung dengan produknya (tahu kan?).
Dan, entah kenapa dibagian konflik perpecahan internal Club Film aku teringat film Catatan Akhir Sekolah (2005) yang menggunakan prolog pemutaran film pendek oleh Agni yang mengaku filmnya keren, tapi mungkin ini kebetulan.
Novel ini tak hanya cinta, tapi lebih pada dan dari sebuah harga persahabatan yang tak ternilai, jatuh bangun yang semakin menguatkan persahatan Lena, Dania dan Dion yang kemudian ditambah Rizki dan Ryan, meski ada persahabatan yang menjadi cinta, hehe. Emosi yang kompleks. Ini novel pertama yang kubaca setelah beberapa tahun yang lalu yang serasa tak punya waktu untuk cerpen atau novel. Novel yang berbobot.
“Di dunia ini ada dua hal yang pantas diperjuangkan. Impian dan cinta”
Bukankah orang sering kali bersikap tolol ketika berhadapan dengan perasaan?

Sering dibaca