Deret Sepi


- Deret Sepi -

Dan senyum itu pecah, disambut jingga. Juga nafas membeku seolah insaf, menjadi abadi di sudut gubuk tua. Kantuk meretakkan alfa, juga senyummu, menikam sendu.

Biru memutih, dalam jingga di ujung barat, raja tenggelam, berkarat pelan dalam kubangan semesta, aku buta, pernah. Kulihat jingga mesrah bersama bidadari senja, berselimut doa, kaukah itu?. Pada akhirnya jingga menelan awan. Seperti deretan doa yang ku dendang bersama senja, kusampaikan rindu terma'tsurat 

Tak ada kata dalam gerimis lirih, hanya tetesan sepi tak bertepi. Tepi penuh dengan sepi, penuh dengan derita, bagaimana dengan kasih, tak seharuanya memunggungi sunyi. Langit menjerit, sakit, jingga menusuk di ujung barat, masa dimana kau buat mataku terbelanga, diawal senja. Jumpa pecah dalam air mata, jerit meraba asa, laci-laci doa mengangah, tak biasa. Dan kesunyian tenggelam dalam pekat hitam, menabur bercak ditiap telapak, suir-suir alfa menggantung bersama jelaga 

Bulan berbisik tentang malam dan bintang; kasih merayu bersama takik rindu, membunyi sendu, puan tak tahu. Bulan nyalang di sela kayu-kayu beranting, mengapa senyum memega sedang aku setapak buta. Langit muram, bulan temaran, kalimat berubah, bagaimana dengan getar, tumpah?. 

Burung bercerita tentang fajar yang menendang malam; bagaimana dengan takik-takik rindu yang ditelan subuh. Ayam-ayam berisik, bulan pergi begitu lirih, apakah pagi dipatriarki mentari, tersisah sepi semalam.

No comments:

Post a Comment

Sering dibaca